Oleh
Bahron Ansori*
Pemimpin adalah orang yang diberikan amanah
(kepercayaan) tertentu yang diharapkan dapat melaksanakan tugas kepemimpinannya
sesuai dengan kedudukan dan jabatannya. Rasulullah saw, pernah mengingatkan,
bahwa pemimpin suatu kelompok adalah pelayan kelompok tersebut. Oleh karena itu
seorang pemimpin hendaklah melayani dan menolong orang yang dipimpin untuk
mencapai kemajuan, kesejahteraan umat dan keselamatan dunia akhir.
Namun demikian, ternyata banyak pula pemimpin
yang gagal dalam kepemimpinannya. Hal ini dapat kita lihat dalam sejarah
kepemimpinan di masyarakat dari masa ke masa. Banyak pemimpin yang dipaksa atau
terpaksa mundur dari jabatannya sebelum habis masanya. Banyak pula pemimpin yang dibenci rakyatnya sehingga mereka
dijatuhkan dan diadili oleh rakyatnya sendiri, malah ada yang dipenjara,
dibunuh dan sebagainya. Mengapa hal itu bisa terjadi? Di antaranya:
Pertama, pemimpin itu
tidak menjalankan amanah. Mereka tidak menunaikan amanah itu karena
mereka lupa akan hakikat kepentingan yang sesungguhnya, atau karena terpengaruh
dengan kemewahan duniawi sampai melengahkan tugas-tugas kepemimpinannya. Akibat
lalai dan terpengaruh duniawi, amanah kepemimpinan tak dilaksanakan dan
dijadikan kepemimpinan itu sebagai peluang untuk mencari keuntungan dan
kekayaan duniawi, sikap dan perilaku seperti itulah yang kemudian melahirkan
berbagai penyimpangan.
Maka muncullah korupsi dan kezaliman lain. Dari
penyimpangan itu timbul ketimpangan dan kesenjangan hidup di masyarakat akibat
mengabaikan amanah. Allah swt berfirman : “sesungguhnya allah menyuruh kamu
menjalankan amanah kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila
menetapkan suatu hukum diantara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil”(Qs.
An-nisa : 58).
Kemudian rasulullah saw mengingatkan kepada
para pemimpin : “siapa saja yang dianugerahkan allah sebagai pemimpin, tetapi
dia tidak berbuat sesuatu untuk kebaikan umatnya (malahan sebaliknya menipu dan
menzalimi umatnya ), allah mengharamkan surga untuknya”. (HR. Bukhari).
Rasulullah saw bersabda : “asyaddunnaasi
‘azaban yaumul qiyamati imamun jair”. (orang yang paling sakit siksaan di hari
kiamat adalah pemimpin yang zalim (curang) (HR. Thabrani dari abdullah bin
mas’ud).
Oleh karena itu mari kita sadari bahwa menjadi
pemimpin itu adalah amanah, dan amanah itu adalah titipan allah berupa perintah
untuk dilaksanakan dengan sebaik-baiknya, termasuk menjalankan keadilan, baik
keadilan hukum, pendidikan, ekonomi maupun keadilan dalam bidang lain.
Kesejahteraan rakyat, kebenaran dan keadilan
juga merupakan tuntutan rakyat yang telah memberikan kepercayaan penuh kepada
para pemimpinnya, oleh sebab itu melaksanakan amanah allah berarti juga
melaksanakan kehendak hati nurani rakyat.
Kedua, pemimpin yang
mengabaikan kejujuran. Pemimpin yang tidak jujur mereka menganggap
nilai materi lebih tinggi daripada nilai kejujuran, sehingga apabila mereka
berhadapan dengan suatu yang mendatangkan materi atau keuntungan duniawi,
kejujuran tidak ada harganya sama sekali. Maka timbullah kedustaan dan
kemunafikan serta kezaliman terhadap rakyat.
Pemimpin yang tidak jujur itu memang pandai,
tetapi pandai menipu rakyat, mereka licin selicin belut, mereka licik selicik
kancil, mereka pandai merangkai kata, seperti pujangga yang menari di atas
kata-kata indah hingga rakyat terlena terutama ketika berkampanye dengan
janji-janji indah yang selalu berkedok untuk kepentingan rakyat, tapi
sesungguhnya adalah orang yang pembohong (khazzab).
Dalam hal ini rasulullah saw bersabda :
“sesudahku nanti akan ada pemimpin-pemimpin yang berdusta dan berbuat zalim,
siapa yang membenarkan kedustaannya dan membantu kezalimannya, maka ia tidak
termasuk golongan dari umatku dan aku juga tidak termasuk darinya dan ia tidak
akan datang ketelaga (yang ada di surga)”. (HR. Nasa’i dari ka’ab).
Dalam hadits diatas, diisyaratkan akan lahir
pemimpin-pemimpin yang suka berdusta pada diri sendiri dan kepada rakyatnya.
Dalam kepemimpinannya dia selalu menampakkan yang baik dan indah, tetapi
dibalik itu ada maksud-maksud tertentu yang dapat merugikan rakyatnya.
Disamping itu juga dia suka berbuat zalim dan aniaya.
Oleh karena itu perlu kita sadari bahwa
kejujuran itu sesungguhnya amat tinggi harganya dihadapan allah. Kejujuran juga
amat besar nilainya dimata masyarakat. Maka itulah kejujuran merupakan tolok
ukur kepercayaan masyarakat, merupakan cermin keluhuran dan kemuliaan di dunia
dan diakhirat. Dalam hal kejujuran allah swt berfirman: “hai orang-orang yang beriman,
bertawakkallah kepada allah, dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang
jujur”. (Qs. At-taubah: 119).
Ketiga, pemimpin yang
berakhlak mazmumah (buruk). Bila suatu umat dipimpin oleh orang-orang yang
berakhlak buruk tidak bermoral dan kepribadiannya yang jauh dari nilai-nilai
agama serta akhlak yang mulia, maka bisa dipastikan umat atau rakyat itu akan
mengalami penderitaan dan kesengsaraan. Pemimpin seperti ini akan bertindak
sewenang-wenang sehingga rakyatnya tidak mendapatkan keadilan dan hak-haknya,
yang mereka rasakan adalah kesengsaraan, ketakutan, keresahan dan lainnya. Hal
ini membuat umat tersebut hidup dalam penderitaan dan kekecewaan.
Khusus bagi umat islam, mereka tidak akan
mendapatkan kebaikan bila dipimpin oleh orang-orang non muslim. Sebab suatu
kemustahilan bila orang-orang diluar islam berbuat dengan ikhlas untuk
kemaslahatan bagi umat islam. Bahkan sebaliknya mereka senantiasa berusaha
untuk menghancurkan umat islam. Umat islam juga akan hancur bila dipimpin oleh
orang-orang munafik yang tidak jelas agamanya. Penampilan lahirnya seperti
orang islam, tetapi hatinya munafik dan anti islam.
Pemimpin seperti ini harus diwaspadai oleh umat
islam dan harus dihindari. Dalam hal ini allah swt berfirman : “dan diantara
manusia ada orang yang ucapannya tentang kehidupan dunia menarik hatimu, dan
dipersaksikannya kepada allah (atas kebenaran) isi hatinya, padahal ia adalah
penentang yang paling keras”. (Qs. Al-baqarah: 204).
Keempat, pemimpin
yang tidak kapabel. Yaitu pemimpin yang kurang cakap, cerdik, dan
tidak memiliki kesanggupan dalam memimpin serta tidak memiliki visi dan misi
kedepan.
Dalam islam disebut sebagai orang yang tidak
fathanah. Tugas kepemimpinan di masyarakat sungguh berat, apalagi jika
kepemimpinan itu bertaraf nasional, tentu akan lebih berat lagi, sebab problem
yang dihadapi lebih banyak dan komplek. Karena itu kepemimpinan sangat menuntut
seorang pemimpin yang fathanah (cerdik), yakni cakap, pandai, cerdas, punya
kesanggupan dan memiliki visi jauh kedepan.
Pemimpin yang fathanah itulah yang akan mampu
memimpin dan membangun masyarakatnya. Allah swt berfirman : “serulah (manusia)
kepada jalan tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka
dengan cara yang baik…” (Qs. An-nahl: 125).
Menurut satu riwayat, rasulullah saw tidak rela
jika umatnya dipimpin oleh orang-orang yang berakhlak bejat, tidak beriman
serta berlaku zalim. Tapi terkadang umatnyalah yang tidak memperhatikan dirinya
dan nasibnya. Hal ini kelihatan dari cara memilih pemimpin, mereka tidak mengikuti
petunjuk allah dan rasul. Hal ini, merupakan tugas dan tanggungjawab para
ulama untuk memberi tuntunan kepada umat ini bagaimana seharusnya memilih
pemimpin menurut tuntunan al-qur’an dan hadits demi kebahagiaan dunia dan
akhirat dan pemimpinnya juga selamat. Wallahu a’lam.(R2/R1).
*Redaktur Mi’raj News
Agency (MINA)
http://mirajnews.com/id/artikel/tausiyah/pemimpin-yang-dibenci/