Tidak
bisa dipungkiri jabatan selalu menjadi daya tarik sepanjang masa. Entah sudah
berapa episode sejarah yang meninggalkan tragedi disebabkan ambisi jabatan
(kekuasaan). Semua terekam dalam sejarah. Mulai dari masayarakat purba sampai
masyarakat modern selalu menginginkan jabatan. Hal ini disebabkan pandangan
mereka tentang jabatan dianggap sesuatu yang prestisius.
Ambisi
jabatan telah menenggelamkan Fir’aun dengan kesombongannya, yang pada puncaknya
memproklamirkan dirinya sebagai Tuhan. Ada pula Hitler yang gila kekuasaan dan
menghalalkan genoside terhadap orang yang berada di luar rasnya. Namun, jika
kita bertanya kepada mereka untuk apa berambisi kepada kekuasaan, mereka
menjawab itu semua untuk kebahagiaan. Denan menduduki jabatan tersebut mereka
eksis dan bisa menunjukkan aktualisasi dirinya. Selain itu, kekuasaan bagi
mereka adalah alat untuk menguasai orang lain. Sarana untuk mengumpulkan
kekayaan. Namun, mereka tersiksa dalam kekalutan. Saat kekuasaan mereka
berakhir.
Islam
dan Jabatan
Tidak
diragukan lagi Islam adalah agama paripurna. Dengan kesempurnaannya Islam
memproklamirkan dirinya sebagai rahmatan lilalamin. Bukan saja bagi manusia,
bahkan bagi semesta. Salah satu makna dari kata Islam adalah keselamatan.
Keselamatan di dunia dan keselamatan di akhirat. Keselamatan adalah perangkat
kebahagiaan. Intinya Islam menjamin kebahagiaan di dunia dan kebahagiaan di
akhirat.Allah
Swt berfirman,”Dan diantara mereka ada yang berdoa Ya Tuhan Kami, berilah kami
kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan peliharalah kami dari siksa
nereka.” (Al-Baqarah: 201).
Sungguh
banyak sekali disediakan Allah Swt jalan untuk mendapatkan kebahagiaan. Jabatan
adalah sarana untuk menggapai kebahagiaan di dunia dan di akhirat. Namun
jabatan hanya sarana, bukan tujuan. Sebab itu, barang siapa yang telah
mendapatkan sarana tersebut dan tidak mempergunakannya untuk mencapai tujuan,
maka kebahagiaan tidak akan diperoleh.
Jabatan
Adalah Amanah
Suatu
ketika Abu Dzar RA meminta kepada Rasulullah Saw agar diberi suatu jabatan.
Rasulullah menjawab permintaan Abu Dzar dengan sabdanya,
“Wahai
Abu Dzar, sesungguhnya engkau seorang yang lemah dan sesungguhnya jabatan itu
adalah suatu amanah, dan sesungguhnya ia adalah kehinaan dan penyesalan di hari
kiamat kecuali yang menjalankannya dengan baik dan melaksanakan
tanggungjawabnya (HR. Muslim).
Imam
Muslim dan an-Naisaburi menempatkan hadist ini pada kitab Imarah (kepemimpinan)
bab Karahah al Imrah Biqhari Darwah (dibencinya menerima amanah kepemimpinan
tanpa darurat). Imam Nawawi mengatakan bahwa hadist ini adalah prinsip agung
dalam menjauhi jabatan dan kepemimpinan, terutama bagi orang yang lemah memikul
tanggungjawab.Rasulullah
dengan tegas menyatakan bahwa jabatan adalah amanah. Rasulullah menolak
permintaan Abu Dzar karena mengetahui ia lemah dalam hal ini. Hal ini dilakukan
tanpa basa-basi, kendati Abu Dzar adalah sahabat generasi awal masuk Islam.
Hakikat
Jabatan Dalam Islam
Masyarakat
Islam mempunyai tabiat Haraki. Masyarakat yang bergerak dan dinamis.
Masayarakat yang bergerak, beramal demi kepentingan Islam. Maka individunya
juga bergerak. Dalam pergerakan ini akan sangat mudah diketahui kemampuannya,
keikhlasannya, pengorbanan dan sifat-sifatnya tanpa harus mengkampanyekan dan
mempromosikan dirinya kepada saudara-saudaranya. Sehingga, jika ada individu
dalam komunitas ini yang terlihat lebih baik dari yang lainnya mereka otomatis
akan diminta menjadi pimpinan mereka.
Sehingga
kualitas Iman adalah kualitas pertama. Kekuatan Ilmu dan pengetahuan adalah
kekuatan selanjutnya. Kualitas Iman dan ilmu inilah juga yang menjadi parameter
Rasulullan Saw mengangkat Bilal bin Rabah, Muadz bin Jabal, Abu Musa al Asari
sebagai gubernur.
Sedangkan
masyarakat jahiliyah (mujtama’ jahili) adalah masyarakat yang stagnan.
Penilaian untuk menjadi pemimpin bagi mereka adalah kekuatan materi dan status
sosial. Parameter mereka adalah keduniaan. Sehingga ketika memimpin mereka
membangun fisik saja melupakan membangun jiwa. Bukankah kebahagian itu dimulai
dari jiwa baru raganya. Bahkan lagu kebangsaan kita ada lirik yang berbunyi,
“Bangunlah Jiwanya, bangunlah raganya untuk Indonesia Raya.”
Imam
Ibnu Katsir dalam tafsirnya menyatakan bahwa Allah Swt mengangkat Thalut
sebagai raja Bani Israil. Thalut bukanlah keturunan Yahudi. Ia hanyalah tentara
biasa, orang miskin dan tidak memiliki kekayaan untuk memimpin dan mendirikan
kerajaan. Bani Israil membantah dan menyanggah nabi mereka. “Bagaimana mungkin
ia dapat memerintah kami, padahal kami lebih berhak daripada dia dan dia tiada
dianugerahi kelapangan harta dan bukan pula keturunan raja.”
Seperti
kondisi kita saat ini untuk bisa mencalonkan diri sebagai seorang pejabat
(Presiden, gubernur, Bupati, walikota, anggota legislatif atau sebagainya)
harus memiliki uang dalam jumlah yang banyak, karena dengan semua hal tersebut
akan dibiayai segala keperluannya.
Keadaan
seperti ini akan mengakibatkan adanya bisnis kekuasaan. Seorang yang sudah
mengeluarkan dana dalam jumlah besar untuk mendapatkan jabatan, terdorong untuk
mendapatkan kembali uang tersebut. Kalau bisa lebih. Selain itu, ia akan
berusaha mempertahankan jabatannya. Karena ia menganggap itu adalah sumber
penghasilan. Jadi kapan mereka akan memikirkan kemaslahatan umat dan rakyat yang
mereka pimpin?
“Sesungguhnya
Allah Swt akan meminta pertanggungjawaban setiap pemimpin tentang jabatannya,
apakah ia menjaganya atau menyia-nyiakannya (HR. Ibnu Hibban)
http://politik.kompasiana.com/2013/02/17/islam-jabatan-dan-kekuasaan-534343.html
http://qr-sofyansiroj.blogspot.com