Selasa, 27 Januari 2015

Islam, Jabatan, dan Kekuasaan



Tidak bisa dipungkiri jabatan selalu menjadi daya tarik sepanjang masa. Entah sudah berapa episode sejarah yang meninggalkan tragedi disebabkan ambisi jabatan (kekuasaan). Semua terekam dalam sejarah. Mulai dari masayarakat purba sampai masyarakat modern selalu menginginkan jabatan. Hal ini disebabkan pandangan mereka tentang jabatan dianggap sesuatu yang prestisius. 

Ambisi jabatan telah menenggelamkan Fir’aun dengan kesombongannya, yang pada puncaknya memproklamirkan dirinya sebagai Tuhan. Ada pula Hitler yang gila kekuasaan dan menghalalkan genoside terhadap orang yang berada di luar rasnya. Namun, jika kita bertanya kepada mereka untuk apa berambisi kepada kekuasaan, mereka menjawab itu semua untuk kebahagiaan. Denan menduduki jabatan tersebut mereka eksis dan bisa menunjukkan aktualisasi dirinya. Selain itu, kekuasaan bagi mereka adalah alat untuk menguasai orang lain. Sarana untuk mengumpulkan kekayaan. Namun, mereka tersiksa dalam kekalutan. Saat kekuasaan mereka berakhir. 


Islam dan Jabatan
Tidak diragukan lagi Islam adalah agama paripurna. Dengan kesempurnaannya Islam memproklamirkan dirinya sebagai rahmatan lilalamin. Bukan saja bagi manusia, bahkan bagi semesta. Salah satu makna dari kata Islam adalah keselamatan. Keselamatan di dunia dan keselamatan di akhirat. Keselamatan adalah perangkat kebahagiaan. Intinya Islam menjamin kebahagiaan di dunia dan kebahagiaan di akhirat.Allah Swt berfirman,”Dan diantara mereka ada yang berdoa Ya Tuhan Kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan peliharalah kami dari siksa nereka.” (Al-Baqarah: 201).

Sungguh banyak sekali disediakan Allah Swt jalan untuk mendapatkan kebahagiaan. Jabatan adalah sarana untuk menggapai kebahagiaan di dunia dan di akhirat. Namun jabatan hanya sarana, bukan tujuan. Sebab itu, barang siapa yang telah mendapatkan sarana tersebut dan tidak mempergunakannya untuk mencapai tujuan, maka kebahagiaan tidak akan diperoleh.

Jabatan Adalah Amanah
Suatu ketika Abu Dzar RA meminta kepada Rasulullah Saw agar diberi suatu jabatan. Rasulullah menjawab permintaan Abu Dzar dengan sabdanya,
“Wahai Abu Dzar, sesungguhnya engkau seorang yang lemah dan sesungguhnya jabatan itu adalah suatu amanah, dan sesungguhnya ia adalah kehinaan dan penyesalan di hari kiamat kecuali yang menjalankannya dengan baik dan melaksanakan tanggungjawabnya (HR. Muslim).

Imam Muslim dan an-Naisaburi menempatkan hadist ini pada kitab Imarah (kepemimpinan) bab Karahah al Imrah Biqhari Darwah (dibencinya menerima amanah kepemimpinan tanpa darurat). Imam Nawawi mengatakan bahwa hadist ini adalah prinsip agung dalam menjauhi jabatan dan kepemimpinan, terutama bagi orang yang lemah memikul tanggungjawab.Rasulullah dengan tegas menyatakan bahwa jabatan adalah amanah. Rasulullah menolak permintaan Abu Dzar karena mengetahui ia lemah dalam hal ini. Hal ini dilakukan tanpa basa-basi, kendati Abu Dzar adalah sahabat generasi awal masuk Islam. 

Hakikat Jabatan Dalam Islam
Masyarakat Islam mempunyai tabiat Haraki. Masyarakat yang bergerak dan dinamis. Masayarakat yang bergerak, beramal demi kepentingan Islam. Maka individunya juga bergerak. Dalam pergerakan ini akan sangat mudah diketahui kemampuannya, keikhlasannya, pengorbanan dan sifat-sifatnya tanpa harus mengkampanyekan dan mempromosikan dirinya kepada saudara-saudaranya. Sehingga, jika ada individu dalam komunitas ini yang terlihat lebih baik dari yang lainnya mereka otomatis akan diminta menjadi pimpinan mereka. 
Sehingga kualitas Iman adalah kualitas pertama. Kekuatan Ilmu dan pengetahuan adalah kekuatan selanjutnya. Kualitas Iman dan ilmu inilah juga yang menjadi parameter Rasulullan Saw mengangkat Bilal bin Rabah, Muadz bin Jabal, Abu Musa al Asari sebagai gubernur. 

Sedangkan masyarakat jahiliyah (mujtama’ jahili) adalah masyarakat yang stagnan. Penilaian untuk menjadi pemimpin bagi mereka adalah kekuatan materi dan status sosial. Parameter mereka adalah keduniaan. Sehingga ketika memimpin mereka membangun fisik saja melupakan membangun jiwa. Bukankah kebahagian itu dimulai dari jiwa baru raganya. Bahkan lagu kebangsaan kita ada lirik yang berbunyi, “Bangunlah Jiwanya, bangunlah raganya untuk Indonesia Raya.” 

Imam Ibnu Katsir dalam tafsirnya menyatakan bahwa Allah Swt mengangkat Thalut sebagai raja Bani Israil. Thalut bukanlah keturunan Yahudi. Ia hanyalah tentara biasa, orang miskin dan tidak memiliki kekayaan untuk memimpin dan mendirikan kerajaan. Bani Israil membantah dan menyanggah nabi mereka. “Bagaimana mungkin ia dapat memerintah kami, padahal kami lebih berhak daripada dia dan dia tiada dianugerahi kelapangan harta dan bukan pula keturunan raja.”

Seperti kondisi kita saat ini untuk bisa mencalonkan diri sebagai seorang pejabat (Presiden, gubernur, Bupati, walikota, anggota legislatif atau sebagainya) harus memiliki uang dalam jumlah yang banyak, karena dengan semua hal tersebut akan dibiayai segala keperluannya. 

Keadaan seperti ini akan mengakibatkan adanya bisnis kekuasaan. Seorang yang sudah mengeluarkan dana dalam jumlah besar untuk mendapatkan jabatan, terdorong untuk mendapatkan kembali uang tersebut. Kalau bisa lebih. Selain itu, ia akan berusaha mempertahankan jabatannya. Karena ia menganggap itu adalah sumber penghasilan. Jadi kapan mereka akan memikirkan kemaslahatan umat dan rakyat yang mereka pimpin?

“Sesungguhnya Allah Swt akan meminta pertanggungjawaban setiap pemimpin tentang jabatannya, apakah ia menjaganya atau menyia-nyiakannya (HR. Ibnu Hibban)

http://politik.kompasiana.com/2013/02/17/islam-jabatan-dan-kekuasaan-534343.html
http://qr-sofyansiroj.blogspot.com